Selasa, 20 Maret 2012

BUDAYA JAMBI

BUDAYA JAMBI

Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya begitu juga lain tempat, lain pula pepatah adatnya. Berikut ini saya sajikan beberapa pepatah adat yang ada di tengah masyarakat Jambi sebagai bagian dari khasanah kebudayaan Indonesia:
Pemimpin itu hendaknyo ibarat sebatang pohon, batangnyo besak tempat besandar, daunnyo rimbun, tempat belindung, ketiko hujan tempat beteduh, ketiko panas, akarnyo besak tempat besilo.  pegi tempat betanyo, balik tempat babarito.(Pemimpin itu hendaknya jadi pengayom)Janganlah Telunjuk lurus, kelingking bekait..( janganlah lain di kata lain di hati) Jangan menggunting kain dalam lipatan, menohok kawan seiring.. (jangan menghianati kawan sendiri) Hendaknyo masalah iko Jatuh ke api hangus, jatuh ke aek hanyut.. (hendaknya masalah ini cukup selesai di sini/cukup sampai di sini) Hendaknyo tibo nampak muko, balik nampak punggung.. (hendaknya datang secara baik-baik, pergi juga secara baik-baik) Awak pipit nak nelan jagung (impian yang terlalu besar, impian yang tidak mungkin) Pegi macang babungo, balik macang bapelutik (istilah yang dipakai untuk orang yang merantaunya hanya sebentar) Kalu aek keruh di muaro, cubo tengok ke hulu (Kalau ada suatu masalah terjadi, cobalah lihat dulu penyebabnya) Tepagar di kelapo condong, batang di awak buah di kanti (Istilah ini dipakai untuk yang salah menikahi pasangannya, raga millik kita tapi cinta milik orang lain) Itulah beberapa pepatah/sloko adat Jambi yang bisa saya informasikan, tentunya masih banyak lagi pepatah-pepatah lain yang sering dipakai dalam keseharian maupun dalam acara adat masyarakat Jambi.
HUKUM ADAT JAMBI

Seloko adat Jambi menyebutkan “Adat Selingkung Negeri, Undang Selingkung Alam” artinya dalam kehidupan masyarakat Jambi tentunya berada dalam kerangka atau koridor hukum adat (Adat Selingkung Negeri) dan hukum positif (Undang Selingkung Alam).
Masyarakat adat Jambi mengakui adanya tingkatan hukum yang lebih tinggi yang berlaku disamping hukum adat. Dari seloko tersebut tersirat, bahwa segala permasalahan yang ada terlebih dahulu diselesaikan secara adat, dan jika tidak bisa diselesaikan secara adat baru mengacu kepada hukum yang lebih tinggi (Undang Selingkung Alam). Masyarakat Jambi adalah masyarakat yang relijius, sehingga hukum adat Jambi senantiasa berpedoman pada ketentuan agama yang tergambar dalam seloko “Adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Kitabullah” Hukum adat Jambi mempunyai tingkatan-tingkatan dalam pengambilan keputusan, Seloko adat Jambi menyebutkan “Bejenjang naik betanggo turun, turun dari takak nan diatas, naik dari takak nan di bawah” dan dalam mengambil keputusan pun tidak sembarangan harus mengacu kepada kata mufakat karena adat Jambi adalah “Adat nan Berlembago” Pepatah adat mengatakan “Bulat aek dek pembuluh, bulat kato dek mufakat”. Dalam mufakat ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan sampai menemukan kata putus menurut adat, ketentuan tersebut salah satunya dengan melihat akar dari suatu permasalahan, Seloko adat Jambi menyebutkan “Dak ado asap kalo dak ado api, Kalo aek keruh dimuaro cubo tengok ke hulu”. Dalam adat Jambi juga dikenal istilah azas pembuktian “ Jiko tepijak benang arang hitam tapak, jiko tersuruk di gunung kapur putih tengkuk” sehingga dalam pembuktian ini bisa dibuktikan yang salah tetap salah dan yang benar tetap benar “yang melintang patah, yang membujur lalu”.

1 komentar:

kasih komentar dong...